infobogor.online – Menyikapi Dugaan terkait masalah perizinan dan lahan oleh pengembang cluster perumahan dapat mencakup sejumlah pelanggaran hukum, baik dalam hal kepatuhan terhadap peraturan pemerintah maupun pelaksanaan proyek perumahan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berikut adalah beberapa masalah hukum yang mungkin terjadi dan sanksi yang bisa dikenakan, Ucap Deni, SH., S.Kom., M.SC., C.LSc. Managing Partners Denslawfirm, Berkantor di Ruko Boulevard Tekno, Jl. Tekno Widya No.D1 LT. 2, BSD, Setu Kota Tangerang Selatan, Banten :
1. Dugaan Masalah Perizinan
Perizinan adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam pengembangan proyek properti, termasuk pembangunan cluster perumahan. Pengembang diwajibkan untuk mendapatkan izin yang diperlukan sebelum memulai pembangunan, sesuai dengan berbagai peraturan yang berlaku. Beberapa izin yang harus dimiliki pengembang adalah:
- Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT): Izin ini diperlukan jika pengembang akan mengubah status atau penggunaan tanah.
- Izin Mendirikan Bangunan (IMB): IMB diperlukan sebelum melakukan pembangunan fisik bangunan. Pengembang harus memastikan bahwa pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang dan zonasi yang berlaku.
- Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan): Jika proyek perumahan berdampak signifikan terhadap lingkungan, pengembang wajib melakukan Amdal dan mendapatkan izin lingkungan.
- Izin Prinsip dan Izin Usaha Pengembangan Perumahan: Pengembang perlu izin untuk memulai proyek perumahan dan memenuhi persyaratan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Jika perizinan tidak lengkap atau tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku, ada beberapa dugaan pelanggaran yang bisa terjadi, seperti:
- Tanpa IMB: Pembangunan yang dilakukan tanpa IMB dapat dikenakan sanksi administratif berupa penghentian pembangunan, atau bahkan penghancuran bangunan.
- Tidak Sesuai dengan Rencana Tata Ruang: Jika pengembang membangun di luar zona atau tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan, itu bisa melanggar Peraturan Daerah (Perda) atau Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
- Tidak Ada Amdal: Jika proyek yang menyebabkan dampak lingkungan negatif tidak dilengkapi dengan Amdal, maka pengembang dapat dikenakan sanksi administratif atau pidana lingkungan berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2. Dugaan Masalah Lahan
Masalah terkait dengan lahan juga sering menjadi masalah hukum dalam pengembangan cluster. Beberapa dugaan masalah yang mungkin terjadi di antaranya:
- Tanah yang Tidak Sah atau Tidak Terverifikasi: Jika tanah yang digunakan untuk pengembangan cluster tidak memiliki surat-surat yang sah, seperti sertifikat tanah, atau status hukumnya masih dipertanyakan, maka ini merupakan pelanggaran hukum. Tanah tersebut bisa saja merupakan tanah yang belum dibebaskan secara sah atau bahkan tanah yang berstatus sengketa.
- Penyalahgunaan Surat Tanah: Penggunaan dokumen palsu untuk menguasai atau membeli tanah yang tidak sah adalah tindak pidana, yang dapat dikenakan sanksi pidana penjara sesuai dengan Pasal 263 KUHP (tentang pemalsuan dokumen) atau UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
- Tanah Milik Negara atau Tanah Tertutup untuk Peruntukan Lain: Jika tanah yang digunakan berada dalam kawasan yang dilindungi atau berada di lahan negara yang belum dibebaskan, pengembang tidak dapat menguasai atau mengembangkan tanah tersebut tanpa izin yang sah.
- Pelanggaran terhadap UUPA: Tanah yang belum dibebaskan atau tanah negara yang dikuasai tanpa izin dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap peraturan agraria dan dapat dikenakan sanksi administrasi, serta perintah untuk membalikkan hak atas tanah kepada negara.
- Tidak Memenuhi Prosedur Pembebasan Tanah: Dalam pembangunan perumahan, pengembang harus melakukan pembebasan tanah sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Jika pengembang tidak mengikuti prosedur ini atau tidak memberikan ganti rugi yang adil kepada pemilik tanah, maka pengembang dapat dikenakan sanksi administratif atau hukum.
3. Sanksi yang Dapat Dikenakan
Jika ditemukan pelanggaran terkait perizinan atau penggunaan lahan, pengembang dapat dikenakan beberapa jenis sanksi, tergantung pada pelanggaran yang terjadi:
A. Sanksi Administratif
- Penghentian Proyek: Pihak berwenang, seperti pemerintah daerah atau kementerian terkait, dapat menghentikan proyek pembangunan jika tidak memiliki izin yang sah atau melanggar rencana tata ruang.
- Pencabutan Izin: Jika izin yang diberikan kepada pengembang tidak dipatuhi atau ada pelanggaran selama proses pembangunan, izin usaha pengembangan perumahan dapat dicabut.
B. Sanksi Pidana
- Korupsi dan Penyalahgunaan Tanah: Jika pengembang terbukti melakukan korupsi atau penyalahgunaan wewenang dalam pembebasan atau penguasaan tanah, pengembang dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Pemalsuan Dokumen: Penggunaan dokumen tanah palsu atau manipulasi surat tanah dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen.
- Pelanggaran Lingkungan: Jika proyek perumahan tidak dilengkapi dengan Amdal atau berdampak buruk terhadap lingkungan, pengembang dapat dikenakan sanksi pidana lingkungan berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009.
C. Ganti Rugi kepada Masyarakat
- Pengembang dapat diminta untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan jika pembangunan dilakukan di lahan yang tidak sah atau jika ada pelanggaran dalam hal pembebasan lahan.
4. Langkah yang Dapat Diambil oleh Masyarakat
Jika masyarakat mencurigai adanya masalah terkait perizinan atau lahan dalam pembangunan cluster, mereka dapat:
- Melaporkan ke Pemerintah Daerah: Melaporkan dugaan pelanggaran kepada pihak berwenang, seperti Dinas Tata Ruang atau Inspektorat Daerah.
- Mengajukan Pengaduan ke Ombudsman: Jika terdapat indikasi penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah atau pengembang, masyarakat dapat mengajukan laporan kepada Ombudsman untuk penyelidikan lebih lanjut.
- Mengajukan Gugatan ke Pengadilan: Jika hak-hak masyarakat terlanggar akibat masalah perizinan atau lahan, mereka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
- Kesimpulan
“Dugaan masalah perizinan dan penggunaan lahan oleh pengembang cluster perumahan berpotensi melibatkan pelanggaran hukum yang serius. Jika terbukti ada pelanggaran, pengembang dapat dikenakan sanksi administratif, pidana, dan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Masyarakat dan pihak terkait memiliki hak untuk mengawasi dan melaporkan dugaan pelanggaran ini untuk memastikan bahwa proyek pembangunan dilakukan secara sah dan adil” Ucap Deni, SH., S.Kom., M.SC., C.LSc. Managing Partners Denslawfirm, Berkantor di Ruko Boulevard Tekno, Jl. Tekno Widya No.D1 LT. 2, BSD, Setu Kota Tangerang Selatan, Banten.
Pembangunan Klaster Grand Bukit Dago yang diduga melanggar garis sempadan sungai (GSS) dengan mencaplok lahan irigasi di Desa Rawa Kalong, Kecamatan Gunung Sindur menjadi perhatian Forum Pemuda Gunung Sindur (FPGS). Mereka mendesak DPRD Kabupaten Bogor segera melakukan sidak guna menjalankan fungsi pengawasan.
“Dewan Kabupaten Bogor harusnya segera cek ke lapangan. Jalankan fungsi pengawasannya. Jangan mau kampanye aja rajin turun ke masyarakat. Sekarang udah jadi malah diam. Dimana fungsi pengawasannya,” tegas Ketua FPGS Nasrul kepada infobogor.online Minggu(15/12/2024).
Menurutnya, jika dugaan pelanggaran oleh pengembang Klaster Grand Bukit Dago tidak mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten
Bogor, baginya malah menimbulkan kecurigaan tersendiri. Apakah oknum-oknum di dinas ikut terlibat ‘bermain’ dalam proses perizinannya.
“Ini waktunya, anggota dewan di Bogor tunjukan nyali. Sesuai tupoksinya. Kan itu yang kita harapkan. Mereka duduk di kursi empuk dengan gaji dan fasilitas yang ada untuk mewakili masyarakat. Kalau yang kasat mata aja dibiarkan. Kemungkinan dipelosok-pelosok masih bayak lagi pengembang yang memanfaatkan situasi ini. Mereka dengan leluasa bisa berbuat semaunya. Karena lemahnya penegakan hukum,” sambuh Nasrul.
Seharusnya lanjut Nasrul, pemerintah berterima kasih kepada masyarakat yang ikut peduli. Mengingat Kabupaten Bogor begitu luas yang kerap dijadikan alasan mereka kecolongan.
“Saya berharap anggota dewan Kabupaten Bogor sekarang ini masih ada yang ikut peduli. Melakukan fungsi pengawasannya dengan baik. Sesuai amanah yang ada dipundak mereka.
Kalau tidak ada kepedulian dari pejabat daerah. Nanti bisa jadi lahan irigasi bakal diurug pengembang. Karena tidak pedulinya pemerintah. Toh, Percuma juga ada UPT Infrastruktur Irigasi naungan Dinas PUPR. Apa fungsinya? Mereka sebenanya sudah tau tapi ngga peduli,” tandasnya.
Untuk diketahui, berdasarkan informasi dari Pihak UPT Infrastruktur Irigasi Kelas A Wilayah 2 yang menyelenggarakan operasi dan pemeliharaan saluran irigasi ada sekira 5,8 kilometer panjang saluran irigasi Curug-Serpong dengan lebar 3 meter yang menjadi asset pemerintah Kabupaten Bogor.
Dimana saluran irigasi Curug-Serpong juga melintasi Desa Rawa Kalong, Kecamatan Gunung Sindur berbatasan langsung dengan lokasi Klaster Grand Bukit Dago yang saat ini sedang dibangun yang diduga melanggar garis sempadan sungai. (*)